Senin, 04 April 2011

Fakta Dibalik Rating Sinetron Indonesia

Hari gini yang punya TV pasti nggak asing sama tontonan yang namanya sinetron. Sinema elektronik atawa sinetron –istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Bapak Soemardjono, salah satu pendiri Institut Kesenian Jakarta (IKJ)-udah jadi menu sehari-hari yang buat sebagian orang kudu dinikmati. Mau yang sinetron sekali tayang habis ala FTV atau yang stripping beratus episode ala Cinta Fitri ada penggemarnya sendiri. Atau sinetron yang diimpor dari luar Indonesia kayak telenovela yang asalnya dari Amerika Latin atau soap opera alias opera sabun yang lahir pertama kali di Amerika, plus drama seri Asia yang diisi akting para artis Korea, Taiwan, dan Jepang, semua makin bikin warna sinetron di Indonesia beragam, banyak pilihan.
Banyak yang suka sama sinetron karena cerita sinetron yang bikin orang penasaran. Tiap episode berakhir dengan cerita yang dibuat ngegantung, bikin orang geregetan dan “nagih” untuk besok nonton lagi. Plus juga pemain-pemainnya yang cantik-cantik en ganteng bikin tangan makin nggak sanggup pencet remote pindah channel.
Tapi ternyata nggak semua masyarakat merespon keberadaan sinetron ini dengan suka. Ada juga sebagian masyarakat yang memilih untuk nggak nonton sinetron apalagi yang produk dalam negeri. Bahkan ada yang sampai bikin gerakan “Anti Sinetron”!
Kalau dicek n crosscek ketidaksukaan sebagian masyarakat terhadap sinetron wajar-wajar aja. Karena produk sinetron yang ada kebanyakan emang nggak bikin orang tambah pinter ngeliat hidupnya dan hidup orang lain. Nggak tambah bijak dan lihai untuk bisa ngejadiin diri cari solusi untuk permasalahan hidup yang sedang dihadapi.
Loh kan sinetron emang bukan media pendidikan kan? Sinetron kan emang peruntukkannya cuma untuk menghibur. Gitu sih ngelesnya. Iya sih. Sinetron emang dibikin untuk menghibur, tapi kan bukan berarti melupakan unsur pendidikan. Contohnya –ini contoh yang sering banget dipake, karena selain yang ini nggak ada lagi yang lain hehe..- sinetron Kiamat Sudah Dekat, Lorong Waktu, atau Para Pencari Tuhan. Lewat sinetron-sinetron tersebut banyak cerita keseharian ditampilkan plus bagaimana contoh penyelesaiannya sesuai dengan syariat Islam. Orang nggak ngerasa diguruin, nggak ngerasa diceramahin, tapi bisa dengan baik bercermin.
Sayangnya nggak banyak sinetron yang semacam itu. Ada juga sih sinetron yang mencoba tampil islami, apalagi seperti pada Ramadhan kemarin. Tapi karena global idenya masih yang kebanyakan: perseteruan karena warisan, harta, perempuan, dan mistis hantu-hantuan, walhasil nama Allah, ayat-ayat Allah yang digunakan di tiap adegan jadi tampak garing. Nggak ada “ruh” yang ditampilkan, bahkan bertentangan dengan syariat Islam.
Sinetron dihujat, rating tetap nanjak?
Nah, ini fenomena lain dari sinetron di tanah air. Banyak kejadian sinetron yang isinya dinilai banyak pihak nggak mutu tapi ratingnya tinggi. Kesimpulannya, tontonan yang nggak mutu juga banyak penontonnya. Berarti penontonnya juga banyak yang nggak mutu dong. Bisa jadi. Bener nggak tuh? Harusnya bener kan? Glodak!
Tapi, ada temuan nih yang bilang kalo rating bisa juga direkayasa. Rating yang jadi “tuhan” di jagad sinetron ternyata nggak melulu presentasi dari pilihan penonton. Apalagi mengingat lembaga perating tayangan televisi di Indonesia itu hanya diisi oleh AC-Nielsen yang asal Amerika. Posisi monopoli bisa memungkinkan segala praktek di luar kelaziman karena nggak ada yang bisa kontrol.
Jadi nggak seutuhnya bener kalo sinetron booming karena mengikuti keinginan pasar, keinginan masyarakat. Jangan-jangan masyarakat lah yang dikondisikan untuk mau nerima sinetron dengan segala jenisnya itu. Sama seperti dulu masyarakat yang semula nggak peduli sama urusan gosip via layar kaca, sekarang malah ketagihan infotaintment.
Nah lho! Kok bisa? Coba deh kita sama-sama teliti tulisan Steven Sterk yang merupakan nama samaran dari karyawan yang sudah bekerja 6 tahun di AC Nielsen. Teliti sebelum menyimpulkan, dan teliti dengan menghubungkannya dengan fakta yang ada di hadapan. Siap? Oke, ini dia.
Tujuh fakta di balik AC-Nielsen:

Pertama, AC Nielsen Indonesia tidak memiliki tenaga handal profesional yang direkrut dari luar negeri demi menjaga kerahasiaan sistem mereka, seperti yang selalu diklaimnya. AC Nielsen Indonesia yang sekarang banyak ditangani oleh para pekerja Indonesia, yang sebagian besar dari mereka adalah fresh graduated (sebagian besar adalah lulusan statistik dan matematika). Sehingga kerahasiaan sistem mereka sebenarnya tidak benar-benar seperti benda suci yang selalu mereka jaga kerahasiaannya. Mereka banyak merekrut tenaga dari dalam negeri dengan anggapan bahwa tenaga dari Indonesia adalah jauh lebih murah dibanding mempekerjakan tenaga dari negara mereka yang sudah berpengalaman. Bahkan Hampir setengah dari tenaga lapangan AC Nielsen adalah para mahasiswa yang belum lulus dengan hitungan tenaga magang. Sehingga dengan tujuan efisiensi pada sumber daya manusia, mereka bisa lebih banyak mendapat keuntungan.
Kedua, dengan banyak merekrut tenaga kerja baru lulus kuliah dan mahasiswa magang, AC Nielsen banyak memberikan toleransi kesalahan data. Terutama data-data yang ada di lapangan. Sering sekali saya alami penyimpangan data terjadi hanya karena keteledoran SDM semata-mata.
Ketiga, untuk pemilihan demografis responden rating televisi cenderung dilakukan dengan asal-asalan. Dan tidak diusahakan pemerataan pada sebaran datanya. Misalnya, untuk mengetahui berapa kecendrungan pemirsa untuk tayangan televisi A, mesti diambil jumlah responden yang seimbang misalnya untuk kelas ekonomi atas 33,3%, kelas ekonomi menengah 33,3 %, untuk kelas ekonomi bawah 33,3%, sehingga total 100%. Dengan model seperti ini, diharapkan angka rating yg didapat adalah lebih obyektif. Namun pada prakteknya, AC Nielsen Indonesia banyak mengambil data responden sebagian besar dari kelas ekonomi rendah. Profil mereka sebagian besar adalah: ekonomi kelas rendah, berpendidikan rendah, tidak mempunyai pekerjaan, bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima, karyawan toko, buruh pabrik, dan lain-lain. Hal ini menjelaskan mengapa sebagian besar tayangan televisi nasional yang memiliki rating tinggi justru yang memiliki cita rasa rendah dan apresiasi seni yang rendah. Seperti tayangan gosip artis, tayangan mistik, film-film hantu, dan sinetron-sinetron picisan.
Tayangan-tayangan televisi yang justru bersifat mendidik dan mencerdaskan akan selalu mendapat nilai rating yang rendah dari AC Nielsen. Kebijakan ini diambil AC Nielsen karena ia tidak mau membayar uang imbalan untuk respondennya. Sehingga responden yang diambil adalah kebanyakan dari kaum ekonomi bawah agar bisa dibayar murah.
Keempat,untuk pemilihan responden secara geografis juga dilakukan dengan tidak merata. Sebaran data yang diambilnya tidak pernah dilakukan dengan distribusi yang sama rata secara nasional, melainkan sekitar lebih dari 60% datanya hanya terkumpul dari Jakarta saja.
Kelima, sebagai imbalan (honor), responden rating hanya mendapat souvernir senilai Rp 30,000 s/d Rp 50,000,-saja per bulannya. Sehingga responden cenderung ogah-ogahan untuk menjaga integritasnya.
Keenam, idealnya sebuah keluarga atau sebuah rumah yang menjadi responden televisi menjadi reponden selama 6 bulan saja atau maksimal selama 1 tahun. Setelah itu AC Nielsen harus mencari responden baru. Secara statistik hal itu perlu dilakukan demi menjaga obyektivitas data. Agar secara psikologis, mood responden tidak mempengaruhi data selanjutnya. Namun pada kenyataannya, seorang responden kebanyakan bisa menjadi responden selama 7 TAHUN LEBIH. Untuk hal ini adalah murni dikarenakan kemalasan dari manajemen AC Nielsen untuk melakukan pemeriksaan ke lapangan.
Ketujuh, para responden rating AC Nielsen sama sekali tidak mempunyai integritas. Dengan demikian, beberapa oknum televisi beserta oknum AC Nielsen dapat memberikan “pesanan” kepada ratusan responden sekaligus agar “memanteng” program televisi tertentu, agar hitungan rating program tersebut menjadi tinggi. Biasanya jumlah yang diajak adalah sekitar 100 s/d 700 orang dari total 3,500 responden. dengan 700 orang berarti program tersebut diharapkan sudah memegang rating 1/5 dari total rating. Biasanya tiap satu kali “memanteng” (demikian sebutannya) tiap responden meminta bayaran Rp 100,000,-. Sehingga dengan 700 orang x Rp 100,000,-, oknum pihak televisi tersebut hanya mengeluarkan uang Rp 70,000,000 saja per satu kali “manteng”. Dengan begitu angka rating dapat dimanipulasi dengan mengeluarkan biaya yang relatif murah sebenarnya bagi para stasiun televisi.[...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar